Selasa, 17 Maret 2020

TUGAS MAKALAH TIK TENTANG DASAR-DASAR INTERNET DAN INTRANET - ppt download

TUGAS MAKALAH TIK TENTANG DASAR-DASAR INTERNET DAN INTRANET - ppt download: 1. DASAR-DASAR INTERNET Internet merupakan singkatan dari interconnected networkingyang berarti jaringan komputer yang saling terhubung antara satu komputer dengan komputer yang lain yang membentuk sebuah jaringan komputer di seluruh dunia, sehingga dapat saling berinteraksi, berkomunikasi, saling bertukar informasi atau tukar menukar data. Secara fisik, internet dapat digambarkan seperti jaring-jaring yang menyerupai jaring laba-laba yang menyelimuti bumi yang terhubung melalui titik-titik (node). Node dapat berupa komputer maupun peralatan (peripheral) lainnya.

Sabtu, 10 Agustus 2019





Dalam kitab al-Sîrah al-Nabawiyyah, Imam Ibnu Hisyam menulis nasab Rasulullah Muhammad ﷺ sebagai berikut:

هَذا كِتَابُ سِيْرَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلي الله عليه وسلّم, هُوَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ—وَاسْمُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: شَيْبَةَ بن هَاشِمِ—وَاسْمُ هَاشِمِ: عُمَرُو بن عَبْدِ مَنَافِ—وَاسْمُ عَبْدِ مَنَافِ: المغِيْرَةُ بن قُصَيّ بن كِلَابِ بن مُرَّةَ بن كَعْبِ بن لُؤَيِّ بن غَالِبِ بْن فِهْرِ بن مالِكِ بن  النَّضْرِ بن كِنَانَةَ بنِ خُزَيْمَةَ بن مُدْرِكَةَ—واسمُ مُدْرِكَةَ: عَامِرِ بن إِلْيَاس بن مُضَر بن نِزَار بن مَعَدِّ بن عَدْنَانَ بن أُدَّ—ويقالُ أُدَدَ بن مُقَوِّمِ بن نَاحُوْر بن تَيْرَح بن يَعْرُبَ بن يَشْجُبَ بن نَابَت بن إِسْمَاعِيْلَ بن إِبْرَاهِيْمَ—خليلُ الرَّحمنِ—بن تَارِح—وهوَ آزَر—بن نَاحُوْر بن سَارُوْغ بن رَاعُو بن فَالِخ بن عَيْبَر بن شَالِخ بن أَرْفَخْشَذ بن سَام بن نُوْح بن لَمَك بن مَتُّو شَلَخ بن أَخْنُوْخ—وَهو إِدْرِيْسُ النَّبِي—وَكانَ أَوَّلَ بَنِي آدَمَ أُعْطِي النُّبُوَّةَ وَخَطَّ بِالْقَلَمِ—ابن يَرْد بن مَهْلَيِل بن قَيْنَن بن يَانِش بن شِيْث بن آدَمَ عليه السلام

Ini adalah kitab Sirah Rasulullah , dia adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib—nama asli Abdul Muttalib adalah Syaibah bin Hasyim—nama asli Hasyim adalah Umar bin Abdu Manaf—nama asli Abdu Manaf adalah Mughirah bin Qusayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin al-Nadlr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah—nama asli Mudrikah adalah ‘Amr bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’add bin ‘Adnan bin Udda—dilafalkan juga Udada bin Muqawwim bin Nahur bin Tayrah bin Ya’ruba bin Yasyjuba bin Nabat bin Ismail bin Ibrahim—khalil al-rahman—bin Tarih—dia adalah Azar—bin Nahur bin Sarug bin Ra’u bin Falikh bin Aybar bin Syalikh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh bin Lamak bin Mattu Syalakh bin Akhnunkh—dia adalah Nabi Idris, bani Adam pertama yang dianugerahi kenabian dan baca tulis—bin Yard bin Malayil bin Qainan bin Yanisy bin Syits bin Adam 'alaihis salam.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, ed. Umar Abdul Salam Tadmuri, Dar al-Kutub al-‘Arab, 1990, juz 1, h. 11-16)

Imam Ibnu Hisyam memang menyebutkan nasab Rasulullah secara lengkap dari Abdullah sampai Nabi Adam, tapi para ulama dan ahli sejarah sendiri berbeda pendapat perihal nasab Rasulullah di atas Adnan. Nasab Rasulullah yang disepakati para ulama hanya nasab dari Abdullah sampai Adnan, sedangkan nasab dari Adnan ke atas, para ulama berbeda pendapat. Syekh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi mengomentari hal ini dengan mengatakan:

أَمَّا مَا فَوْقَ ذَالِكَ فَمُخْتَلَفٌ فِيْهِ, لَا يُعْتَمَدُ عَلَيْه في شَيْئٍ غَيْرُ أَنَّ مِمَّا لَا خِلَافَ فِيْهِ أَنَّ عَدْنَانَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ نَبِيِّ اللهِ ابْنِ إِبْرَاهِيْمَ خَليْلِ اللهِ عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ والسَّلامُ

Adapun nasab Rasulullah di atas Adnan, para ulama berbeda pendapat, tidak ada yang bisa dianggap paling shahih. Namun, semua ulama sepakat bahwa Adnan merupakan keturunan dari Ismail, Nabi Allah putra Ibrahim Khalilullah 'alaihis salam.” (Syeikh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sîrah al-Nabawiyyah Ma’a Mujaz li al-Tarîkh al-Khilâfah al-Rasyîdah, Damaskus: Dar al-Fikr, 1991, h. 73)

Memang terjadi banyak perbedaan pendapat mengenai nasab Rasulullah dari Adnan ke atas. Beberapa ahli bahkan mengatakan tidak ditemukan seorang pun yang mengetahui hal ini, salah satu yang berpendapat demikian adalah Sayyidina Urwah bin Zubeir bin Awam (644-713 M). Beliau berkata: “Mâ wajadnâ man ya’rifu mâ wara’a ‘adnâna—kami tidak menemukan seorang pun yang (secara pasti) mengetahui nasab Rasul dari Adnan seterusnya.” (Imam Muhammad al-Dzahabi, Tarîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm: al-Sîrah al-Nabawiyyah, Damaskus: Dar al-Kitab al-‘Arabi, tt, juz 2, h. 18). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sayyidina Abu al-Aswad bin Muhammad bin Abdul Rahman, salah seorang anak asuh Sayyidina Urwah bin Zubeir. Beliau berkata:

سَمِعْتُ أَبَا بَكْر بْنِ سُلَيْمَانَ ابْنِ أَبِي خَيْثَمَةَ, وَكَانَ مِنْ أَعْلَمِ قُرَيْشٍ بِأَنْسَبِهَا وَأَشْعَارِهَا يَقُوْلُ: مَا وَجَدْنَا أَحَدًا يَعْلَمُ مَا وَرَاءَ مَعَدَّ بْنِ عَدْنَانَ فِي شِعْرِ شَاعِرٍ وَلَا فِي عِلْمِ عَالِمٍ

Saya mendengar Abu Bakar bin Sulaiman bin Abu Khaitsamah, salah seorang yang paling berpengetahuan mengenai nasab bangsa Quraish dan syair-syairnya berkata: “Tidak ditemukan seorang pun yang mengetahui nasab Rasul setelah Ma’ad bin Adnan, baik dalam syairnya para penyair maupun dalan pengetahuannya orang berilmu.” (Imam Muhammad al-Dzahabi, Tarîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm: al-Sîrah al-Nabawiyyah, juz 2, h. 18)

Dengan demikian wajar saja jika terjadi banyak perbedaan jumlah maupun nama nasab Rasul dari Adnan ke atas yang banyak ditemukan di kitab-kitab Sirah Nabawiyyah dan hadits. Salah satu yang paling mencolok adalah riwayat Sayyidina Ibnu Abbas ra:

أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بن هَاشِمِ بن عَبْدِ مَنَافِ بن قُصَيّ بن كِلَابِ بن مُرَّةَ بن كَعْبِ بن لُؤَيِّ بن غَالِبِ بْن فِهْر بن مالِكِ بن النَّضْرِ بن كِنَانَةَ بنِ خُزَيْمَةَ بن مُدْرِكَةَ بن إِلْيَاس بن مُضَر بن نِزَار بن مَعَدّ بن عَدْنَان بن أُدّ بن أُدَدَ بن الهَيْسَع بن بَنَت بن حَمَل بن قَيْذَار بن إِسْمَاعِيْل بن إِبْرَاهِيْم الخ.....

“Saya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin al-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’add bin Adnana bin Udda bin Udada bin Alhaysa’ bin Nabat bin Hamal bin Qaidzar bin Isma’il bin Ibrahim ........” (Imam al-Hafidh al-Dailami, Firdaus al-Akhbâr bi Ma’tsûr al-Khitâb al-Mukharraj ‘ala Kitâb al-Syihâb, Damaskus: Dar al-Kitab al-‘Arabi, juz 1, hlm 73)

Dalam riwayat yang dikutip oleh Imam Ibnu Hisyam (w. 213/218 H), Adnan merupakan anak Udda yang terkadang disebut dengan Udada, sedangkan dalam riwayat Sayyidina Ibnu Abbas, Udda merupakan anak dari Udada. Perbedaan lebih mencolok terjadi pada runtutan nasab setelah Udada. Riwayat kutipan Imam Ibnu Hisyam menyebut (riwayat pertama), “Udada bin Muqawwim bin Nahur bin Tayrah bin Ya’ruba bin Yasyjuba bin Nabat bin Ismail bin Ibrahim.” Sementara riwayat Sayyidina Ibnu Abbas mengatakan (riwayat kedua), “Udada bin Alhaysa’ bin Nabat bin Hamal bin Qaidzar bin Isma’il bin Ibrahim.” 

Jika pun nama-nama itu merupakan nama lain, seperti dalam kasus Abdul Muttalib yang nama aslinya Syaibah, tetap saja tidak dapat menyingkirkan perbedaan, karena nama Nabat pada kedua nasab di atas menempati urutan yang berbeda. Imam al-Kinani dalam Mukhtashar-nya juga mengutip runtutan nasab yang berbeda, yaitu Adnan bin Udda bin Udada bin Alyasa’ bin Alhamaisa’ bin Salaman bin Nabat bin Hamal bin Qaidzar bin Ismail bin Ibrahim. (Imam al-Hafidh al-Dailami, Firdaus al-Akhbâr bi Ma’tsûr al-Khitâb al-Mukharraj ‘ala Kitâb al-Syihâb, juz 1, hlm 73). Artinya, di samping perbedaan urutan, terjadi juga perbedaan jumlah orang.

Selain itu, banyak juga terjadi perbedaan penulisan dari mulai Adnan ke atas, seperti Fâlikh, ‘Aibar, Râ’û, dan lainnya dalam riwayat yang dikutip oleh Imam Ibnu Hisyam, dan Fâligh, ‘Âbir, Râghû, dan lainnya dalam riwayat Sayyidina Ibnu Abbas. Hal ini terjadi karena kebanyakan dari nama-nama itu adalah isim ‘ajam (nama bukan Arab). Imam Ibnu Sa’ad berkata:

سَائِرُ هَذهِ الْأَسْمَاءِ أَعْجَمِيَّةٌ وَبَعْضُهَا لَا يُمْكِنُ ضَبْطُهُ بِالْخَطِّ إِلَّا تَقْرِيْبًا

Sisa nama-nama ini adalah nama-nama ajam (non-Arab), sebagiannya tidak mungkin ditulis dengan tepat kecuali dengan cara memperkirakannya.” (Imam Muhammad al-Dzahabi, Tarîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm: al-Sîrah al-Nabawiyyah, juz 2, h. 22)

Dalam al-Sirah al-Nabawiyyah karya Imam Ibnu Hisyam sendiri terdapat riwayat lain yang memiliki cara penulisan berbeda dengan yang pertama, salah satunya riwayat Sayyidina Qatadah bin Dima’ah:

إِسْمَاعِيْلُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ—خليل الرحمن—ابْنِ تَارِخ—وهو آزر—بن نَاخُوْر ابن أَسْرُغ بن أَرْغُو بن فَالِخ بن عَابِر بن شَالِخ بن أَرْفَخْشَذ بن سام بن نُوح بن لَمَك بن مَتُوشَلَخ بن أَخْنُوْخ بن يَرْد بن مَهْلَائِيْل بن قَايِن بن أَنُوش بن شَيْت بن آدَمَ

Ismail bin Ibrahim Khalilurrahman bin Tarikh—beliau adalah Azar—bin Nakhur bin Asrugh bin Arghu bin Falikh bin ‘Abir bin Syalikh bin Arfaksyadz bin Sam bin Nuh bin Lamak bin Matusyalakh bin Akhnukh bin Yard bin Mahla’il bin Qayin bin Anusy bin Syit bin Adam 'alaihis salam.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, 1990, juz 1, h. 18)

Perbedaannya terletak pada penulisan nama AsrughArghû‘ÂbirMatûsyalakhMahlâ’îlQâyinAnûsy, dan Syît yang pada riwayat pertama ditulis SârûghAr’û‘AibarMattûsyalakhMahlayilQaynanYânisy, dan Syîts. Seperti yang dikatakan Imam Ibnu Sa’ad, perbedaan itu terjadi karena nama-nama itu bukan nama Arab, melainkan nama ajam yang tidak dapat ditulis dengan tepat dalam tulisan Arab.

Dari sisi ibunya, Sayyidah Aminah, nasab Rasulullah ﷺ adalah:

هِيَ آمِنَةُ بِنْتُ وَهْبٍ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ زُهْرَةَ بْنِ كِلَابِ بْنِ مُرَّةَ. ]وَأُمُّهَا بَرَّةُ بِنْتُ عَبْدِ الْعُزَّي بن عُثْمَانَ بن عَبْدِ الدَّارِ بن قُصَيِّ بن كَلَاب. وَأُمُّهَا أُمُّ حَبِيْبِ بنت أَسَد بن عَبْدِ الْعُزَّي بن قُصَيِّ بنِ كِلَاب[

Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah. [Ibunya Sayyidah Aminah adalah Barrah binti Abdul ‘Uzza bin Utsman bin Abdul Dar bin Qushayy bin Kilab. Ibunya Barrah binti Abdul ‘Uzza adalah Ummu Habib binti Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushayy bin Kilab].” (Imam Abdul Aziz al-Kinânî, al-Mukhtashar al-Kabîr fi Sîrah al-Rasûl, Amman: Dar al-Basyir, 1993, h. 19)

Nasab Sayyidah Aminah bertemu dengan nasab Sayyid Abdullah, ayah Rasulullah di nama Kilab. Begitu pun dengan ibu Sayyidah Aminah, semuanya bermuara pada satu sumber, yaitu Nabi Ismail 'alaihis salam. Setelah keterangan-keterangan di atas, sebuah hadits di bawah ini kiranya tepat menjadi penutup:

إِنَّ اللهَ اصْطَفَي كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ وَاصْطَفَي قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَي هَاشِمًا مِنْ قُرَيْشٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ

Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Ismail, memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, memilih Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Bani Hasyim.” (HR. Imam Muslim)

Wallahu a’lam bi al-shawab

Kamis, 08 Agustus 2019

‌‌💠 MULAI HARI INI PENGHUNI (TUJUH) LANGIT DAN BUMI MENANGIS DALAM DUKA 💠

🔹إذا مات العالم بكت عليه أهل السموات والأرض سبعين يوما
🔹"Ketika seorang 'Âlim wafat, semua penghuni langit dan bumi menangisi kepergiannya selama 70 hari".
🔹من لم يحزن لموت العالم فهو منافق ...
🔹"Barangsiapa tidak bersedih dengan kematian ulama', dia adalah munafik....!".
Bersedih dan menangislah, karena wafatnya seorang ulama' adalah suatu perkara yang besar di sisi Allâh ﷻ. Suatu perkara yang akan mendatangkan konsekuensi bagi kita yang ditinggalkan jika kita ternyata bukan orang-orang yang senantisa mendengar petuah mereka. Menangislah, jika kita ternyata selama ini belum ada rasa cinta di hati kita kepada para ulama'.
🔹موت العالم مصيبة لا تجبر، وثلمة لا تسد، ونجم طمس، وموت قبيلة أيسر من موت عالم
🔹"Meninggalnya seorang 'Âlim adalah musibah yang tak tergantikan, dan kebocoran yang takkan bisa ditambal. Wafatnya ulama' laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah (ringan) dari pada wafatnya satu orang 'Âlim".
🔹هل تدرون ما ذهاب العلم قلنا لا قال ذهاب العلماء
🔹"Apakah kalian tahu apa yang dimaksud dengan hilangnya ilmu itu?, kami menjawab: '(kami) tidak tahu', ia berkata: 'Meninggalnya para ulama`' ".
🔹موت ألف عابد قائم الليل صائم النهار أهون من موت عالم بصير بحلال الله وحرامه
🔹"Meninggalnya seribu orang ahli ibadah, ahli qiyam il-lail dan ahli berpuasa di siang hari lebih ringan dari pada meninggalnya satu orang yang berilmu, yang mengetahui apa yang dihalalkan dan yang diharamkan Allâh ﷻ ".
🔹إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس ، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يترك عالما اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
🔹"Sesungguhnya Allâh ﷻ tidak mencabut ilmu dari hambanya, tetapi mencabut ilmu dengan mencabut para ulama'. Sehingga ketika Allâh ﷻ tidak menyisakan satu (pun) ulama', maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, mereka ditanya kemudian memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan".
إلى روح شيخ مشايخ إندونيسيا المعمر العلامة الكياهى ميمون زبير
...........lanjut di kolom Komentar 👇

📷 Al Maghfurlah Syaikh Maimoen Zubair dan Syaikh Dr. Taisir Isma'il Ramadhan (UEA)
Nitip pertanyaan ustadz
Bagimana hukum nya khotib yang bacax salah2..dlm berhutbah..dr segi lafad mahroj
Spt الحمد لله dibaca الهمد لله
Atau lafadz yg lain ..emang dr sonox bukan santrie pondok hx saja karna sesepuh jd di jadikan khotib

Bagaimana kah menyikapi hal itu ..


Mohon penjelasan ustadz
Klangkong!!
Imam/khotib hendaklah ditunjuk Orang yang paling Alim dan paling fasih bacaan Al-Qurannya, selain dia juga memahami fiqih shalat secara baik. Karenanya seorang imam/khotib hendaknya telah memiliki kemampuan membaca Al-Quran yang baik, fasih dan shalih.

“يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله…”.

“Orang yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling fasih membaca kitabullah…”.

Yang dimaksud dengan “Aqra’uhum” dalam hadits ini tidak hanya sekedar baik dan fasih bacaan Al-Qurannya namu lebih dari itu, yang lebih utama lagi dia telah hafal Al-Quran.  Sepertinya pada kisah ‘Amr bin Salamah saatfathu makkah , dia memiliki banyak hafalan Al-Quran yang baik seakan melekat dalam dadanya. Dan suatu hari saat akan melaksakan shalat ‘Amr bin Salamh ditunjuk menjadi imam, karena beliau orang yang paling banyak hafalannya, padahal umurnya sekita enam atau tujuh tahun. saat itu  tentu beliau sudah matang dan dianggap layak menjadi imam.
Kewajiban Belajar Al-Quran
Allah SWT memerintahkan kita agar membaca Al-Quran dengan tartil, baik dan benar secara tajwid.

ورتل القرءان ترتيلا

“Dan bacalah Al-Quran dengan tartil”. (QS. Al-Muzzammil: 4)

Syd Ali bin Abi Thalib RA mengatakan:

الترتيل هو تجويد الحروف ومعرفة الوقوف

“Tartil adalah membaca huruf dengan baik dan mengenal waqaf”.

Mari kita perhatikan ungkapan Imam Ibnu Jazari rahimahullah

والأخذ بالتجويد حتم لازم
      من لم يجود القرآن آثـم
لأنــه بـه الإلـه أنزلا   
         وهكذا منه إليـنا وصلا

Membaca Al-Quran dengan tajwid hukumnya wajib
Siapa yang tidak mentajwidkan Al-Quran dia berdosa
Karena sesungguhnya Allah menurunkannya dengan tajwid
Dan demikianlah dari-Nya Al-Quran sampai kepada kita..

Jadi hendaknya kita terus berusaha dan bersungguh-sungguh belajar Al-Quran yang menjadi kewajiban bagi setiap muslim. Belajar di lembaga Al-Quran, di masjid atau mushalla atau belajar dari guru yang memiliki kapasitas yang baik di bidang Al-Quran.

Kalau salah bacaan tersebut dapat merubah makna maka kalau dia imam sholat jelas tidak sah,

Dalam kitab Fathul Qarib, Fathul Mu'in, Asnal Mathalib dan lain-lain.  Dalam Asnal-Mathalib disebutkan:

وَلَا) قُدْوَةَ (بِمَنْ يَعْجِزُ) بِكَسْرِ الْجِيمِ أَفْصَحُ مِنْ فَتْحِهَا (عَنْ الْفَاتِحَةِ، أَوْ عَنْ إخْرَاجِ حَرْفٍ) مِنْهَا (مِنْ مَخْرَجِهِ، أَوْ عَنْ تَشْدِيدٍ) مِنْهَا (لِرَخَاوَةِ لِسَانِهِ) وَلَوْ فِي السِّرِّيَّةِ؛ لِأَنَّ الْإِمَامَ بِصَدَدِ تَحَمُّلِ الْقِرَاءَةِ، وَهَذَا لَا يَصْلُحُ لِلتَّحَمُّلِ

Artinya: Dan tidak  (sah) bermakmum dengan orang yang tidak dapat membaca surat Al-Fatihah sesuai dengan mahraj atau tasydidnya karena mengendornya lidahnya, meskipun dalam shalat yang imam tidak dianjurkan mengeraskan suara (sirr) karena sesungguhnya imam menjadi penanggung jawab fatihah makmum, sementara orang ini (yang tidak mampu membaca fatihah dengan baik) tidak layak untuk itu.
Wallahu a'lam bis showab
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَن كانَ لَهُ ذِبحٌ يَذبَـحُه فَإِذَا أَهَلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ

”Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berkurban maka janganlah dia menyentuh (memotong) sedikitpun bagian dari rambut dan kukunya.”
 (HR. Muslim)


Apa hikmah larangan memotong kuku dan rambut tersebut??
Makruh tanzih, dalam arti tidak makruh jika orang tersebut tidak hendak berkurban.

باب الأضحية هي سنة مؤكدة يندب لمن ارادها ان لا يحلق شعره ولا يقلم ظفره فى عشر ذى الحجة حتى يضحى فان ازال شيأ من ذالك كره كراهة تنزيه

Bab Qurban. Qurban itu sunnah muakkadah. Disunnahkan bagi yang hendak berkurban untuk tidak mencukur rambut dan memotong kuku di 10 hari pertama dzulhijjah sampai dengan ia memotong qurbannya. Apabila ia menghilangkan sesuatu dari rambut atau kukunya maka makruh tanzih. [ Anwarul Masalik ].
Bukan hanya sebatas kuku dan rambut, tetapi juga bagian tubuh yang lain tangan, gigi ,kumis, janggut dll. Adapun hikmah dibalik itu semua adalah agar semuanya mendapatkan ampunan dan terbebas dari api neraka. Ketentuan ini berlaku baik untuk qurban sendiri atau qurban hadiah

و يكره) لمريد التضحية عن نفسه او اهداء شئ من النعم (ان يزيل شيئا من شعره او غيره) كظفره و سائر اجزائه الظاهرة الا الدم على خلاف فيه (فى عشر ذى الحجة) و ما بعدها من ايام التشريق ان لم يضح يوم العيد (حتى يضحى) للامر بالامساك عن ذلك في خبر مسلم. و حكمته شمول المغفرة و العتق من النار لجميعه لا التشبه بالمحرمين و الا لكره نحو الطيب و قيل يحرم مالم يحتاج اليه و عليه احمد فان احتاج فقد يجب كقطع يد سارق و ختان بالغ و قد يسن كختان صبي و قد يباح كقطع سن وجعة   بشرى الكريم ٢/١٢٨
JAWABAN TAMBAHAN :

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
مَن كانَ لَهُ ذِبحٌ يَذبَـحُه فَإِذَا أَهَلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
”Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berkurban maka janganlah dia menyentuh (memotong) sedikitpun bagian dari rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)


apa hikmah larangan memotong kuku dan rambut, ada dua alasan:

Pertama:

Tidak diragukan lagi bahwa larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam pasti mengandung hikmah. Demikian juga perintah terhadap sesuatu adalah hikmah, hal ini cukuplah menjadi keyakinan setiap orang yang beriman (yaitu yakin bahwa setiap perintah dan larangan pasti ada hikmahnya baik yang diketahui ataupun tidak diketahui, pent).

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Sesungguhnya jawaban orangorang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orangorang yang beruntung.
(QS. an-Nur: 51)

Kedua:
Agar manusia di berbagai penjuru dunia mencocoki orang yang berihram haji dan umrah karena orang yang berihram untuk haji dan umrah juga tidak boleh memotong kuku dan rambut.

 Ada juga ulama yang berpendapat dengan pendapat yang lain misalnya:

Hikmahnya agar seluruh anggota tubuh orang yang berkurban tetap lengkap sehingga bisa dibebaskan dari api Neraka.

Ada pendapat juga hikmahnya adalah membiarkan rambut dan kuku tetap ada dan dipotong bersama sembelihan kurban, sehingga menjadi bagian kurban disisi Allah


Yang terpenting adalah alasan pertama yang disampaikan, bahwa jika ada perintah dan larangan hendaknya seorang yang berimana segera melaksanakannya dan yakin pasti ada hikmah dan kebaikan di dalamnya.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam risalahnya,

الدين مبني على المصالح في جلبها و الدرء للقبائح

“Agama dibangun atas dasar berbagai kemashlahatan
Mendatangkan mashlahat dan menolak berbagai keburukan”
Kemudian beliau menjelaskan,

ما أمر الله بشيئ, إلا فيه من المصالح ما لا يحيط به الوصف

“Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali padanya terdapat berbagai mashlahat yang tidak bisa diketahui secara menyeluruh”
 (Risaalah fiil Qowaaidil fiqhiyah hal. 41, Maktabah Adwa’us salaf)

Dijelaskan, bahwa, permasalahan ini berawal dari perbedaan ulama dalam memahami hadits riwayat Ummu Salamah yang terdokumentasi dalam banyak kitab hadits. Ia pernah mendengar Rasulullah SAW berkata:

إذا دخل العشر من ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره ولا بشره شيئا حتى يضحي

Artinya, “Apabila sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, sampai (selesai) berkurban,”
(HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).
Pemahaman ulama terhadap hadits ini dapat dipilah menjadi dua kategori. Pendapat pertama memahami hadits ini mengatakan bahwa Nabi SAW melarang orang yang berkurban memotong kuku dan rambutnya. Sementara pendapat kedua mengatakan, yang dilarang itu bukan memotong kuku dan rambut orang yang berkurban (al-mudhahhi), tetapi hewan kurban (al-mudhahha).
Uraiannya sebagai berikut.
Argumentasi Pendapat Pertama
Pendapat pertama mengatakan hadits di atas bermaksud larangan Nabi untuk tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berkurban. Larangan tersebut dimulai dari sejak awal sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Artinya, ia baru diperbolehkan memotong kuku dan rambutnya setelah selesai kurban.
Kendati kelompok pertama sepakat akan pemaknaan hadits ini ditujukan untuk orang berkurban, namun kenyataannya mereka juga berbeda pendapat terkait maksud dan implikasi larangan Nabi tersebut: Apakah berimplikasi pada keharaman? Makruh? Atau hanya mubah saja?
Mula Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih menyimpulkan.

الحاصل أن المسألة خلافية، فالمستحب لمن قصد أن يضحي عند مالك والشافعي أن لا يحلق شعره، ولا يقلم ظفره حتي يضحي، فإن فعل كان مكروها. وقال أبو حنيفة: هو مباح ولا يكره ولا يستحب، وقال أحمد: بتحريمه

Artinya, “Intinya ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Syafi’i disunahkan tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan dihukumi makruh. Sementara Abu Hanifah berpendapat memotong kuku dan rambut itu hanyalah mubah (boleh), tidak makruh jika dipotong, dan tidak sunah pula bila tidak dipotong. Adapun Imam Ahmad mengharamkannya.
Itulah pendapat ulama terkait kebolehan potong kuku dan rambut pada saat berkurban. Ada ulama menganjurkan, membolehkan, bahkan mengharamkan.
 *Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan, hikmah dari kesunahan ini ialah agar seluruh tubuh di akhirat kelak diselamatkan dari api neraka.* Sebab sebagaimana diketahui, ibadah kurban dapat menyelamatkan orang dari siksa api neraka.
Lagi! Ada pula yang berpendapat bahwa larangan potong rambut dan kuku ini disamakan orang yang ihram. Artinya, selama sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah tidak dibolehkan potong rambut dan kuku sebagaimana halnya orang ihram. Pendapat ini dikritik oleh sebagian ulama karena analoginya tidak tepat. Imam An-Nawawi mengatakan sebagai berikut.

قال أصحابنا الحكمة في النهي أن يبقى كامل الأجزاء ليعتق من النار وقيل للتشبيه بالمحرم قال أصحابنا وهذا غلط لأنه لا يعتزل النساء ولا يترك الطيب واللباس وغير ذلك مما يتركه المحرم

Artinya, “Ulama dari kalangan madzhab kami mengatakan *hikmah di balik larangan tersebut adalah agar seluruh anggota tubuh tetap ada/sempurna dan terbebas dari api neraka.*
Adapula yang berpendapat, karena disamakan (tasyabbuh) dengan orang ihram. Menurut ashab kami, pendapat ini tidak tepat, karena menjelang kurban mereka tetap boleh bersetubuh, memakai wangian, pakaian, dan tindakan lain yang diharamkan bagi orang ihram.

memahami hadis Ummu Salamah di atas perlu dikomparasikan dengan riwayat ‘Aisyah yang berbunyi sebagai berikut.

ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، إنه ليأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها. وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض فطيبوا بها نفسا

Artinya, “Rasulullah SAW mengatakan, ‘Tidak ada amalan anak adam yang dicintai Allah pada hari Idhul Adha kecuali berkurban.  Karena ia  akan datang pada hari kiamat bersama tanduk, bulu, dan kukunya. Saking cepatnya,  pahala kurban sudah sampai kepada Allah sebelum darah hewan sembelihan jatuh ke tanah. Maka hiasilah diri kalian dengan berkurban
 (HR Ibnu Majah).
Begitu pula dengan hadits riwayat al-Tirmidzi:

لصاحبها بكل شعرة حسنة

Artinya, “Bagi orang yang berkurban, setiap helai rambut (bulu hewan kurban) adalah kebaikan,”
 (HR At-Tirmidzi).

Berdasarkan pertimbangan dua hadits ini,  disimpulkan bahwa yang dilarang Nabi itu bukan memotong rambut dan kuku orang yang berkurban, tapi memotong rambut dan kuku hewan kurban. *Karena, rambut dan kuku hewan itulah yang nanti menjadi saksi di akhirat kelak.*


فالعلة في تحريم قطع الشعر والأظافر ليكون ذلك شاهدا لصاحبها يوم القيامة وهذا الإشهاد إنما يناسب إذا كان المحرم من القطع شعر الأضحية وأظافرها، لا شعر المضحى

Artinya, *“’ Illat (alasan) larangan memotong rambut dan kuku ialah karena ia akan menjadi saksi di hari kiamat nanti.* Hal ini tepat bila dikaitkan dengan larangan memotong  bulu dan kuku hewan kurban, bukan rambut orang yang berkurban.”